
Fiqih Karyawan
menjadi karyawan atau pegawai yang bekerja di sebuah instansi merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik sandang, pangan, maupun papan.
Dahulu Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah ditanya :”Wahai Rasulullah, apa pekerjaan yang paling baik?” Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab :”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri…” (HR. Ath-Thobroni 13/215, dishahihkan oleh Imam Al-Albani)
Maksud dari “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri” adalah seseorang bekerja dengan usahanya sendiri, tidak berpangku tangan dengan orang lain. contohnya seperti seorang karyawan, dia bekerja, dan di digaji setiap bulannya dari hasil kerjanya. dan ini adalah sebuah kemuliaan bagi seseorang, terutama bagi laki-laki.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits lain :
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari makan hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Daud صلى الله عليه وسلم dulunya makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu orang yang pekerjaan-nya hanya meminta-minta kepada orang lain, hanya bisa berpangku tangan dengan orang lain, maka ia adalah orang2 yang disebutkan dalam sabda nabi :
“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim).
Secara umum pegawai yang baik itu ada 2 kriteria :
1. Al-Qowiy (Kuat)
2. Al-Amiin (Dapat Dipercaya)
hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qashas ayat 26 :
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
kuat disini bisa dimaknai kuat secara jasmani, dan kuat secara keilmuan atau ahli dalam suatu bidang.
dahulu pernah ada orang arab badui bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم “wahai rasulallah, kapan itu kiamat?” Namun Nabi صلى الله عليه وسلم tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian orang ada yang berkata; “beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu” dan ada pula sebagian yang lain mengatakan; “beliau tidak mendengar perkataannya” Hingga akhirnya Nabi صلى الله عليه وسلم menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata : “Mana orang yang bertanya tentang kiamat tadi?” Orang itu berkata: “saya wahai Rasulullah!”. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila Amanah disia-siakan maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu bertanya: “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: “Ketika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat”
Hendaknya seorang itu mengetahui akan kemampuan dirinya, jika dia tau bahwa dirinya memiliki kapasitas, walaupun tidak ahli, tapi yakin bisa dan punya potensi maka hendaknya ia mengambil amanah tersebut dan dia tunaikan dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tidak mampu dan tidak pula punya potensi, maka hal ini akan menyebabkan kerusakan. Dia tau kalau dirinya tidak mampu tetapi ia meminta/menerima untuk diberi amanah, maka tunggulah kerusakan!
Selain ahli dalam suatu bidang, seseorang juga harus memiliki sifat Amanah dalam menjalankan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Sifat Amanah ini sangat penting karena betapa banyak orang diluar sana yang ahli tapi tidak Amanah. Dan diantara ciri sifat orang munafik adalah khianat atau tidak bertanggung jawab atas Amanah yang diberikan kepadanya, dan hukuman bagi orang munafik adalah ditempatkan di neraka paling bawah, keraknya neraka, maka oleh karena itu sifat Amanah ini penting bagi setiap orang yang dibebankan tanggung jawab kepadanya, baik seorang pekerja, seorang suami dan istri, orang tua dan anak, dan lain sebagainya.
Perlu diperhatikan juga, contoh jika kita sebagai pekerja dicurangi oleh pimpinan kita, hak-hak kita dikurangi, bahkan tidak ditunaikan, maka kita sebagai pekerja atau bawahan jangan balik mencurangi pimpinan kita, karna pimpinan kita mendapat dosa atas kecurangannya, dan jika kita balik mencurangi pimpinan kita, kita juga akan mendapat dosa. Karna kita akan ditanya akan tanggung jawab yang kita emban, bukan hak-hak yang kita dapatkan, Adapun hak kita itu tanggung jawab pimpinan kita. Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita dicurangi? Tenang dan bersabarlah, Jangan balas curangi pimpinanmu dan minta hakmu yang kurang kepada Allah Subhanahu wata’ala, Allah tidak tidur dan Allah akan menolong hambanya yang terzolimi, mintalah hakmu kepada Allah, sungguh pahala disisi Allah jauh lebih baik seandainya dirimu mengetahui. Hal sebagaimana yang disabdakan nabi صلى الله عليه وسلم :
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanah terhadap orang yang memberi amanah padamu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang telah mengkhianatimu (Hr. Abu Daud, dishahihkan oleh Imam Al-Albani)
Sekian yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf.
Artikel ini disarikan dari kajian karyawan Yayasan Bersama Al-Ustadz Andy Fahmi Halim, Lc., M.H.I. حفظه الله