
1. Berdoa kepada Allah
Doa adalah senjata seorang mukmin. Kegelisahan tentang masa depan tidak akan pernah hilang jika hanya disandarkan pada pikiran manusia, sebab pengetahuan kita sangat terbatas. Dengan berdoa, seorang hamba menyerahkan urusannya kepada Allah yang Maha Mengatur segalanya. Doa juga menguatkan hati, karena di dalamnya ada pengakuan bahwa hanya Allah yang mampu mengubah keadaan.
2. Husnudzon kepada Allah
Husnudzon berarti berbaik sangka kepada Allah. Masa depan adalah rahasia, namun Allah menjanjikan bahwa setiap takdir-Nya pasti membawa kebaikan, baik kita mampu memahaminya atau tidak. Dengan husnudzon, hati menjadi tenang, sebab seorang mukmin yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”
3. Berdamai dengan “Kegelisahan”
Kegelisahan adalah bagian dari fitrah manusia. Ia bukan sesuatu yang harus selalu ditolak, tetapi bisa menjadi tanda bahwa kita peduli terhadap masa depan. Dengan berdamai dengannya, kita belajar menerima perasaan itu sebagai dorongan untuk lebih mendekat kepada Allah, bukan sebagai penghalang yang melemahkan. Ketenangan hadir ketika kita mampu menerima kelemahan diri, lalu menjadikannya jalan untuk bersandar lebih kuat kepada Sang Pencipta.
4. Bertawakkal kepada Allah
Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan, lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Seorang yang tawakkal akan terbebas dari kecemasan berlebihan, karena ia tahu bahwa apa pun hasilnya, semua sudah ditentukan dengan hikmah terbaik. Tawakkal menghadirkan rasa aman, sebab hati meyakini bahwa Allah-lah sebaik-baik penolong.
5. Merenungkan nasib kita di akhirat
Seringkali kegelisahan hanya tertuju pada dunia: pekerjaan, rezeki, atau hubungan sosial. Padahal masa depan yang paling penting adalah akhirat. Dengan mengingat bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, maka kegelisahan tentang dunia akan terasa ringan. Merenungkan akhirat membuat kita sadar bahwa yang lebih layak digelisahkan adalah bagaimana keadaan kita di hadapan Allah kelak—apakah selamat atau celaka.
Disarikan dari Kajian Karyawan bersama
Ustadz Zaki Ulien Nuha, S.Pd., M.Pd.